'Attribute' yang diberikan Islam kepada kita, salah satunya adalah "da'i ilallah". Kita dituntut untuk merealisasikan dakwah dalam seluruh kehidupan kita. Setiap langkah kita sesungguhnya adalah dakwah kepada Allah, oleh sebab itulah Islam terkhabarkan kepada masyarakat. Bukankah dakwah bermakna mengajak manusia merealisasikan ajaran-ajaran Allah dalam kehidupan seharian? Sudah selayaknya kita sebagai pelaku menunaikannya buat pertama kali, sebelum mengajak kepada orang lain.
Pernikahan akan bersifat dakwah apabila dilaksanakan sesuai dengan tuntunan Islam dan menimbang berbagai kemaslahatan dakwah dalam setiap langkahnya. Dalam memilih jodoh, dipilihkan pasangan hidup yang bernilai optimal bagi dakwah. Dalam menentukan siapa calon jodoh tersebut, dipertimbangkan pula kemaslahatan secara lebih luas. selain kriteria umum sebagaimana tuntutan fikah Islam, pertimbangan lainnya ialah;
Mereka semua ini siap menikah, mampu menjalankan fungsinya dan peranan sebagai isteri dan ibu dalam rumah tangga. Anda adalah lelaki muslim yang telah berniat melaksanakan pernikahan. Usia anda 25 tahun. Anda dihadapkan dengan realiti bahawa wanita muslimah yang sesuai kriteria fikah Islam untuk anda nikahi ada sekian banyak jumlahnya. Maka siapakah yang lebih anda pilih, dan dengan pertimbangan apakah anda memilih dia sebagai calon isteri?
Ternyata anda memilih si A, kerana dia memiliki kriteria kebaikan agama, cantik, menarik, pandai, dan usianya masih muda, 20 tahun atau bahkan kurang dari itu. Apakah pilihan anda itu salah? Demi Allah, pilihan anda ini tidak salah! anda telah memilih calon isteri dengan benar kerana berdasarkan kriteria kebaikan agama, dan memenuhi sunnah kenabian. Bukankah Rasulullah bertanya kepada Jabir ra :
“Mengapa tidak menikah dengan seorang gadis yang bisa engkau cumbu dan bisa mencumbuimu” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Dan inilah jawapan dakwah seorang Jabir ra, “Wahai Rasulullah, saya memiliki saudara-saudara perempuan yang berjiwa keras, saya tidak mau membawa yang keras juga kepada mereka. Janda ini saya harapkan mampu menyelesaikan permasalahan tersebut.”kata Jabir. “Benar katamu” jawab Nabi saw. Jabir tidak hanya berfikir untuk kesenangan dirinya sendiri. Dia bisa memilih seorang gadis perawan yang cantik dan masih muda.
Namun dia memiliki kepekaan dakwah yang amat tinggi. Kemaslahatan menikahi janda tersebut lebih tinggi dalam pandangan Jabir, dibandingkan dengan menikahi gadis perawan. Nah, apabila semua lelaki muslim berfikiran dan menentukan calon isterinya harus memiliki kecantikan ideal, berkulit putih, usia 5 tahun lebih muda dari dirinya, maka siapakah yang akan datang melamar para wanita muslimah yang usianya diatas 25 tahun, atau usia diatas 30 tahun atau bahkan diatas usia 35 tahun ?
Siapakah yang akan datang melamar para wanita muslimah yang dari segi fizikal tidak cukup alasan untuk dikatakan sebagai cantik menurut ukuran umum? Mereka adalah para muslimah yang melaksanakan ketaatan, mereka adalah wanita solehah, menjaga kehormatan diri, bahkan mereka aktif terlibat dalam kegiatan dakwah dan sosial. Menurut anda, siapakah yang harus menikahi mereka? Ah, mengapa pertanyaannya “harus” ? Dan mengapa pertanyaan ini hanya dibebankan kepada seseorang ?
Kita boleh saja mengabaikan dan melupakan realiti ini. Jodoh ditangan Allah. Kita tidak memiliki hak menentukan segala sesuatu, biarlah Allah memberikan keputusan agungNya. Kita memang boleh melupakan mereka dan tidak peduli dengan orang lain tetapi bukankah Islam tidak menganjurkan kita berperilaku demikian? Walaupun Nabi Muhammad saw menganjurkan Jabir agar beristeri gadis, kita juga mengetahui bahwa hampir seluruh isteri Rasulullah adalah janda.
Walaupun Nabi Muhammad saw menyatakan agar Jabir beristeri gadis, pada kenyataannya Jabir telah menikahi janda. Demikian pula permintaan mahar Ummu Sulaim terhadap lelaki yang datang melamarnya, Abu Thalhah. Mahar keislaman Abu Thalhah menyebabkan Ummu Sulaim menerima pinangannya. Inilah pilihan dakwah. Inilah pernikahan barakah, membawa maslahat bagi dakwah. Sebagaimana pula fikiran yang tersirat di benak Sa’ad bin Rabi saat ia menerima saudara seiman, Abdul Rahman bin Auf.
“Saya memiliki dua isteri sedangkan engkau tidak memiliki isteri. Pilihlah seorang diantara mereka yang engkau suka, sebutkan mana yang engkau pilih, akan saya ceraikan dia untuk engkau nikahi. Kalau iddahnya sudah selesai maka nikahilah dia” (Riwayat Bukhari)
Dia tidak memaksudkan apapun kecuali memikirkan keadaan saudaranya seiman yang belum lagi memiliki isteri. Keinginannya berbuat baiknya telah memunculkan ide aneh tersebut. Akan tetapi sebagaimana kita ketahui, Abdul Rahman bin Auf menolak tawaran itu, dan dia sebagai orang baru di Madinah hanya ingin ditunjukkan jalan ke pasar. Ini hanya satu contoh saja, bahawa dalam konteks pernikahan, hendaknya dikaitkan dengan projek besar dakwah Islam.
Jika kecantikan gadis harapan anda bernilai 100 poin, tidakkah anda bersedia menurunkan 20 atau 30 poin untuk mendapatkan kebaikan dari segi yang lain? Ketika pilihan itu membawa maslahat bagi dakwah, mengapa tidak ditempuh? Jika gadis harapan anda berusia 20 tahun, tidakkan anda bersedia sedikit memberikan toleransi dengan masalahat kepada wanita yang lebih mendesak untuk segera menikah disebabkan desakan usia?
Jika anda adalah wanita muda usia, dan ditanya dalam konteks pernikahan oleh seorang lelaki yang sesuai kriteria harapan anda, mampukah anda mengatakan kepada dia, “saya memang telah siap menikah, akan tetapi si B sahabat saya, lebih mendesak untuk segera menikah”. Atau kita telah sepakat untuk tidak mahu melihat realiti seperti itu kerana ia bukanlah tanggung jawab kita ? Ia adalah urusan masing-masing.
Keberuntungan dan keidakberuntungan adalah soal takdir yang tidak berada di tangan kita. Masya Allah, seribu dalil boleh kita gunakan untuk mengabsahkan fikiran individualistik kita. Akan tetapi hendaknya kita ingat pesan kenabian berikut:
“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam cinta, kasih sayang dan kelembutan hati mereka adalah seperti satu tubuh. Apabila satu anggota tubuh menderita sakit, terasakanlah sakit tersebut di seluruh tubuh hingga tidak bisa tidur dan panas” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Boleh jadi kebahagiaan pernikahan kita telah menyakitkan dan menguris hati orang lain. Setiap saat mereka mendapatkan undangan pernikahan, mereka harus membaca dan menghadiri dengan perasaan yang sedih kerana tidak mempunyai jodoh sementara usia terus bertambah dan kepercayaan diri semakin berkurang. Disinilah perlunya kita berfikir tentang kemaslahatan dakwah dalam proses pernikahan seorang muslim.